Tak selamanya Paris itu romantis…
Ada sisi-sisi lain kota turis terpopuler (baca :
paling banyak dikunjungi) di dunia ini yang relatif jarang terekspos dan
sama sekali berbeda dari stereotype Paris yang gemerlapan dengan La Tour Eiffel, Arc de Triomphe, deretan butik mewah di Avenue des Champs-Elysées, serta kafe-kafe tempat les Parisiens bercengkerama.
Di balik hiruk pikuk kehidupan metropolitan Paris,
tepatnya di bawah gedung-gedung antik, taman kota, museum dan monumen
bersejarah, tersembunyi lorong-lorong sempit yang lembab dan ditumbuhi
lumut di sana sini, remang-remang, berkelok laksana labirin. Inilah Paris underground, dunia bawah tanah yang rumit namun tertata.
Dunia bawah tanah Paris termasuk underground life paling padat di dunia. Selain dipenuhi oleh jalur-jalur Métro (singkatan dari ‘Métropolitain’ alias subway/kereta bawah tanah) dengan empat belas lignes (
jalur) yang menjadi media transportasi utama hampir 4 juta orang per
hari, lapisan bawah kota Paris juga terdiri dari ruang-ruang kosong bekas tambang (les carrières, the quarries), gorong-gorong tempat pengolahan air limbah (les égouts), serta tempat penyimpanan tulang belulang mantan penduduk Paris yang dikenal sebagai Catacombes de Paris.
Krisis Dunia Bawah Tanah Abad 18
Lebih dari dua abad yang lalu, Pemerintah Kota Paris dipusingkan dengan dua masalah pelik. Masalah pertama adalah kondisi tanah yang tidak stabil di lokasi-lokasi tertentu yang merupakan bekas pertambangan batu kapur (limestone) dan gypsum yang tersebar di Paris dan sekitarnya selama berabad-abad, mulai abad ke-1 SM sampai sekitar akhir abad ke-19.
Labilnya struktur tanah ini
sempat menimbulkan masalah besar. Tercatat misalnya pada tahun 1774,
segenap jalan, tanah dan rumah di Rue d’Enfer (saat ini bernama Boulevard Saint Michel,
tepat di pusat kota Paris) amblas seketika. Tentu saja ini membuat
penduduk kota heboh dan ketakutan – bagaimana kalau seluruh kota
menghilang ditelan bumi? – sekaligus memaksa pemerintah untuk segera
menemukan solusi masalah tersebut.
Di sisi lain, ada juga masalah kedua yang tak kalah urgen dan bikin gonjang ganjing – masalah keterbatasan tanah kuburan
akibat pesatnya pertumbuhan penduduk Paris (dan bukan tak mungkin suatu
saat akan dialami juga oleh kota-kota lain, termasuk Jakarta).
Awalnya problem ini disiasati
dengan ‘menumpuk’ makam lapis demi lapis dan membuat kuburan massal
untuk menampung para almarhum dan almarhumah eks Parisiens, terutama setelah periode Revolusi Perancis dan wabah black plague (penyakit
pes) yang menelan banyak korban. Namun lama kelamaan mungkin karena
sudah ‘overdosis’, kuburan pun sempat luber dan mencemari wilayah tempat
tinggal penduduk di sekitarnya, apalagi sumber air saat itu masih
bergantung pada air tanah. Teror menghantui Paris, wabah
penyakit merajalela dan penduduk protes keras menuntut Pemerintah
menutup kompleks-kompleks pemakaman.
Salah satu pemakaman yang paling bermasalah adalah Cimetière des Innocents (sekitar daerah Les Halles). Konon suatu ketika dinding cave (wine cellar,
tempat penyimpanan anggur di bawah tanah) di sebuah restoran jebol oleh
bermeter-meter kubik ‘benda asing’ yang berasal dari kuburan di
sebelahnya (bagaimana bentuknya, silahkan bayangkan sendiri yah… yikes!)
***
Untuk mengatasi masalah pertama di atas, pemerintah membentuk komite khusus yang bertanggung jawab memeriksa serta melakukan identifikasi dan renovasi yang diperlukan dalam ruang-ruang bekas tambang agar tak membahayakan. Saat investigasi itulah terbersit ide untuk memanfaatkannya sebagai lokasi ossuary (tempat penyimpanan ‘sisa-sisa’ jenazah, seperti tulang belulang atau abu). Adalah
Letjen Polisi Alexandre Lenoire yang mengusulkan hal ini pada tahun
1777, namun pelaksanaannya baru dimulai hampir 10 tahun kemudian.
Proses penggalian dan pemindahan berlangsung selama beberapa tahun. Dalam
kegelapan malam sisa-sisa jasad nenek moyang penduduk Paris itu
diletakkan dalam kereta kuda bertutup kain hitam dan diarak ke lokasi Catacombes
dengan upacara layaknya prosesi pemakaman, lengkap dengan para pastor
yang berjalan di depan arak-arakan sambil menaikkan doa dan lagu-lagu
pujian.
Total ada sekitar 6 juta orang yang bersama-sama ‘diistirahatkan’ di sana, dikumpulkan dari 23 pemakaman di Paris dan sekitarnya.
Dua Jam Nan Mencekam
Jumat minggu lalu, akhirnya kesampaian juga saya mewujudkan niat yang sudah lama terpendam – berkunjung ke Catacombes de Paris yang nama resminya adalah l’Ossuaire Municipal dan
kini menjadi obyek wisata yang kini ramai dikunjungi turis mancanegara.
Setiap kali saya melewatinya dalam perjalanan menuju China Town di Paris 13ème arrondissement, terlihat antrian panjang di depan pintu masuk bertuliskan ‘Entrée de Catacombes’ yang berada persis di seberang sortie (pintu keluar) Métro Denfert-Rochereau itu, meliuk sampai ke depan terminal Orly bus.
Selain karena memang cukup banyak pengunjung, ternyata jumlah orang yang diijinkan berada di dalam catacombes pada saat bersamaan juga dibatasi, maksimal 200 orang. Angka yang tertera pada digital counter di dekat loket akan bertambah setiap kali ada yang masuk. Jika sudah mencapai 200, yang lain terpaksa harus menunggu lebih lama. Untunglah
saat saya tiba bersama seorang teman hari belum terlalu siang dan angka
yang tertera belum sampai 50, jadi kami bisa langsung melenggang masuk. Seorang teman lain harus antri selama satu jam karena datang bertepatan dengan peak season. Lumayan juga menunggu selama itu, pas musim dingin pula…
Setelah membeli tiket dan mengambil brosur di
loket, kami pun memulai sebuah perjalanan yang sungguh tak terlupakan –
dua jam nan mencekam. Bagi Anda yang menggemari film-film adventure
ala Indiana Jones dan ingin mengalaminya sendiri, mungkin akan cukup
terpuaskan dengan berkunjung ke tempat yang betul-betul pas untuk uji
nyali ini. Sebaliknya, jika rangka manusia dari
plastik di laboratorium Biologi saja sudah membuat Anda merinding, lebih
baik jangan pernah nekat ke sini. Bisa jantungan lho… hehe.
Petualangan kami dimulai dengan menuruni 130 anak tangga putar yang membawa kami masuk sejauh 20 meter di bawah permukaan tanah. Lumayan
dalam, ya… Bisa jadi ini salah satu alasan pembatasan jumlah 200 orang
itu. Kalau terlalu banyak yang berdesakan di bawah sana, mungkin kadar
karbondioksida akan terlampau tinggi sehingga sulit bernapas. Hhhhh….
Di ruang bawah tanah, kami harus membiasakan diri
dengan cahaya remang-remang dalam lorong sempit yang dibatasi dinding
batu di kiri kanannya. Sambil berjalan perlahan di atas tanah yang tak
terlalu rata, mata kami lambat laun mulai bisa beradaptasi dan lebih
awas membaca huruf-huruf di beberapa lokasi, yang ternyata merupakan
kode-kode saat para petugas melakukan inspeksi di akhir abad ke-18. Oh
ya, pastikan Anda mengenakan sepatu yang nyaman dan tahan di segala
cuaca karena kadang-kadang ada genangan kecil yang berasal dari rembesan
air.
Rasanya kami berjalan cukup jauh menyusuri terowongan yang (belakangan baru saya ketahui dari internet) ternyata jaraknya 1,5 km sebelum sampai di Olokasi L’ (kalau biasanya ‘hari H’, boleh juga kan menyebut ‘lokasi L’). Jeng jeng jeng… Di depan kami tiba-tiba muncul sebuah gerbang yang di atasnya tertera tulisan “Arrête ! C’est ici l’empire de la mort” yang berarti « Awas ! Di sinilah terletak kerajaan maut ». Waahhh…. Lumayan juga nih sambutannya, belum apa-apa sudah bikin merinding.
Begitu masuk, mulailah berbagai pemandangan unik
dan mengejutkan menyapa. Kejutan pertama, tadinya saya menyangka tulang
belulang itu (yang sekilas sempat saya lihat fotonya di buku-buku dan
internet) tersimpan rapi dalam kaca layaknya display di museum.
Ternyata oh ternyata…. Mereka dibiarkan begitu saja, tersusun rapi
tanpa terbungkus apa-apa. Jadi begitu melewati ‘gerbang kerajaan maut’
tadi, langsung saja kami disambut tatapan kosong beberapa tengkorak yang berada di barisan paling depan.
Sontak saya teringat pada puisi Chairil Anwar yang menggunakan istilah ‘tulang-tulang berserakan’.
Tak disangka, saya benar-benar menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
beradu pandang dari jarak dekat pula. Kalau ditanya bagaimana rasanya,
hmmmm…. Campur aduk, man ! Antara agak-agak merinding, seram, haru, iba, shock dan takjub… semua bercampur jadi satu. Walaupun
(ternyata) tak semenakutkan yang saya bayangkan dan sama sekali tak
tercium bau aneh kecuali hawa lembab, suasananya tetap mencekam. Mungkin
cahaya remang-remang membuat aura horor (kalau memang sengaja
diciptakan) cukup sukses terwujud.
Kejutan kedua, ternyata orang Perancis itu nggak dulu nggak sekarang memang nyeni ya… Tulang belulang dan tengkorak-tengkorak itu tersusun sangat rapi dan artistik, menuruti pola tertentu dan di sana sini malah ditata seperti hiasan – ada bentuk hati, pirate
(bajak laut), salib, dll. Tak terbayangkan panjangnya proses yang harus
dilalui, rumitnya pekerjaan dan lamanya waktu yang dibutuhkan. Tulang belulang itu dikelompokkan berdasarkan asal pemakamannya, seperti misalnya tertulis ‘Ossements de cimetière des Innocents deposés en Avril 1786’.
Sayang di beberapa tempat ada bagian-bagian yang
bolong karena dicuri oleh tangan-tangan jahil yang iseng dan kurang
kerjaan. Ngapain coba ngambil-ngambil kayak begituan? Tega
amat sih…. Makanya di pintu keluar, ada petugas yang sigap memeriksa tas
para pengunjung untuk memastikan tak ada lagi yang tercuri.
Ketiga, ada beberapa tengkorak yang jelas terlihat
perbedaannya. Penasaran, kami bertanya kepada petugas yang ada di situ.
Mungkin karena saat itu belum banyak pengunjung, ia bisa menyempatkan
diri memberi penjelasan. Rupanya tengkorak-tengkorak yang tempurung
kepalanya retak dan agak menonjol di belakang itu adalah korban wabah penyakit pes yang menimpa Perancis (dan benua Eropa) di abad pertengahan. Wah, jadi ingat film seri ‘Body of Proof’ deh… Oh ya, ada juga sebuah rahang bawah yang masih cukup lengkap giginya, hanya sedikit ompong di bagian depan. Ck ck ck… Sudah lebih dari 200 tahun nggak sikatan tuh.
Keempat, di sana sini bertebaran prasasti seperti batu nisan yang kebanyakan berisi tulisan dalam Bahasa Latin. Ada pula beberapa dalam Bahasa Perancis, sebagian mengutip ayat-ayat Alkitab yang berhubungan dengan kematian. Rata-rata menyampaikan pesan bahwa kelak semua orang tanpa terkecuali akan bernasib sama seperti para penghuni Catacombes ini.
Ada sebuah kalimat yang tak
sempat saya catat bagaimana persisnya (lagian gelap banget booo, nggak
mungkin nyatet-nyatet kali), tapi terjemahannya kurang lebih begini : ‘Setiap
pagi sadarilah bahwa mungkin engkau tak akan hidup sampai malam nanti,
dan kala malam tiba ingatlah bahwa belum tentu engkau masih bisa bangun
esok pagi.’ Wowww…. Dalem banget yah.
Dan memang inilah kesan
paling kuat yang tertanam setelah mengunjungi tempat ini. Kita jadi
benar-benar disentakkan untuk kembali sadar, selalu waspada dan setiap
saat ingat bahwa hidup tak akan berlangsung selamanya. Suatu ketika semua akan kembali ke pangkuan Sang Empunya Hidup, dan tak ada yang tahu kapan waktunya.
Seperti judul sebuah film Perancis, setiap hari adalah hari pertama dari sisa hidup kita di bumi ini – le premier jour du reste de ta vie.
Ternyata banyak pelajaran dan inspirasi yang bisa dipetik dari petualangan dua jam nan mencekam dalam l’empire de la mort (kerajaan maut) ini. Persis seperti kalimat yang tertera di atas pintu ruang bedah mayat dalam film seri ‘Body of Proof’ :
« Hic locus est ubi mors gaudet succurrere vitae »
(This is the place where death rejoices to teach those who live)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar